REFLEKSI KASUS
Oleh: Hendri Okarisman
Dokter Muda RSUD Kab. Temanggung
A.
PENGALAMAN
Seorang pasien
wanita 71 tahun datang ke IGD RSUD Temanggung tanggal 6 Mei 2013 jam 08.30
dengan keluhan utama hidung mimisan sejak 1 jam SMRS. Mimisan keluar darah
segar dari hidung sebelah kanan, secara tiba-tiba, ngocor terus menerus tidak
berhenti. Pasien merasa pusing dan kemeng-kemeng di tengkuk sejak siang hari (6
jam SMRS), Pasien memiliki riwayat darah tinggi dengan riwayat pengobatan tidak
terkontrol. Adanya mual, muntah dan demam disangkal pasien. Pasien tidak pernah
mimisan sebelum-sebelumnya, serta menyangkal adanya riwayat trauma hidung
(mengorek-ngorek lubang hidung) atau masuknya benda asing ke dalam hidung serta
menyangkal adanya riwayat penyakit di hidung (sinusistis, rhinitis, dll).
Pasien juga tidak memiliki riwayat penyakit gula darah sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik
didapatkan keadaan umum cukup, kesadaran compos mentis. Pemeriksaan vital sign
tekanan darah 240/120 mmHg, nadi 84 x/menit (isi dan tegangan cukup), respirasi
22 x/menit, suhu 36,0o C. Pemeriksaan status lokalis THT: Deviasi
hidung (-), depresi tulang hidung (-), krepitasi tulang hidung (-), Rhinoskopi anterior vestibulum nasi dekstra
tidak bisa dinilai karena tertutupi aliran darah yang keluar. Rhinoskopi
anterior Vestibulum nasi sinistra: kelainan anatomi hidung (-), pembesaran konka (-), edema mukosa (-).
B.
MASALAH YANG DIKAJI
Bagaimana
anatomi dan pendarahan pada rongga hidung? Bagaimana hubungan hipertensi dengan
epistaksis?
C.
ANALISIS MASALAH
1.
Anatomi dan Perdarahan Rongga Hidung
Indentifikasi
cabang-cabang pembuluh darah yang berada di bagian anterior septum nasi sebagai
sumber terjadinya epistkasis sudah diperkenalkan sejak zanab Cave Michael
(1871) dan Wilhelm Kiesselbach (1879). Pembuluh darah utama di rongga hidung
berasal dari arteri karotis interna (AKI) dan arteri karotis eksterna (AKE).
AKI
Gambar1.
A: Pembuluh darah di daerah septum nasi, B. Pembuluh darah di dinding lateral
nasi
AKI
memberikan suplai darah pada cavum nasi melalui percabangan vasa darah:
1.
Arteri
ophtalmika yang bercabang menjadi arteri ethmoidalis anterior dan posterior
dimana cabang anterior lebih besar daripada posterior. Cabang anterior pada
bagian medial akan bercabang dan melintasi atap dari cavum nasi.
AKE memberikan suplai darah pada cavum nasi melalui
percabangan vasa darah:
1.
AKE bercabang
menjadi arteri facialis dan arteri maksilaris. Arteri facialis berjalan pada
bagian anterior hidung menjadi arteri labialis anterior. Sedangkan arteri
maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri
sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri palatine mayor. Arteri
sfenopalatina memasuki rongga hidung dan memperdarahi daerah septum dan
sebagian lateral hidung.
Pada daerah anterior septum terjadi pertemuan
(anastomiosis) antara arteri labialis posterior, arteri etmoidalis anterior, arteri sfeno
palatine, dan arteri palatine mayor membentuk plexus Kiesselbach.
Pleksus Kiesselbach memiliki ciri vaskuler dan
tempat anatomis yang memudahkan terjadinya trauma fisik pada cavum nasi
sehingga anatomosis ini menjadi penyebab tersering terjadinya epistaksis
anterior. Pembagian area vaskularisasi yang menjadi penyebab epistaksis
anterior dan posterior dipisahkan oleh ostium sinus maksilaris. Sumber dan
lokasi pendarahan dapat dilihat dalam bagan sebagai berikut:
Etiologi epistaksis dapat disebabkan
oleh:
1.
Lokal
Epistaksis
yang disebkan oleh kerusakan di area cavum nasi itu sendiri, seperti:
a. Trauma, dapat berupa mengeluarkan ingus terlalu
kuat, bersin yang terlalu kuat, mengorek hidung dan masuknya benda asing ke
hidung.
b. Infeksi pada area hidung dan sekitarnya seperti
rhinitis, sinus paranasal, dan granuloma spesifik
c. Neoplasma atau kegananasan di area hidung seperti
hemangioma, angiofibroma nasofaring, Ca nasofaring.
d. Kongenital seperti herediter hemoraging
telengektasis
2. Sistemik
a. Kardiovaskular seperti HT, kelainan pembuluh darah,
nefritis kronis, sirosis hepatik.
b. Kelainan darah seperti hemophilia, trombositopenia,
leukemia.
c. Infeksi seperti DHF, Tifoid, fan morbili
d. Gangguan endokrin seperti hamil dan monopouse
2.
Hubungan Epistaksis dengan Hipertensi
Klasifikasi
hipertensi berdasarkan JNC-7 the 7th
of joint Nasional Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment
of High Blood Pressure 2003, dapat dibagi menjadi:
a.
Normal, sitolik
<120 mmHg, Diastolik <80 mmHg
b.
Prehipertensi,
Sistolik 120-139 mmHg, diastolic 80-90 mmHg
c.
Hipertensi
stadium I, Sistolik 140-159 mmHg, Diastolik 90-99 mmHg
d.
Hipertensi
stadium II, Sistolik >= 160 mmHg, Diastolik >= 100 mmHg
Penatalaksanaan hipertensi menurut JNC-7 dapat
dibagi menjadi dua stadium. Pengobatan farmakologi dimulai pada hipertensi
tingkat 1 atau tekanan darah 140-149/90-99 mmHg.Sedangkan menurut British
Society of hypertension (BSH IV) tahun 2004, pengobatan hipertensi dimulai pada
tekanan darah 160/100 mmHg, pengobatan farmakologi dapat diberikan pada tekanan
140-159/90-99 mmHg bila terdapat kerusakan organ target, penyakit
kardiovaskuler, diabetes mellitus, atau resiko kardiovaskular dalam 10 tahun
mencapai >= 20%.
Stadium
Hipertensi
|
Pengobatan
|
Stadium I
|
Obat diuretik golongan tiazid
sebagai pilihan awal tanpa indikasi memaksa.
Obat antihipertensi ACE
inhibitor, angitensin reseptor II blocker, atau calcium chanel bloker dapat
dipertimbangkan sebagai obat tunggal atau kombinasi.
|
Stadium II
|
Kombinasi diuretic dengan obat
antihipertensi lain.
|
Terdapat
dua hipotesis yang menerangkan keterkaitan antara epistaksis dengan hipertensi:
1.
Pasien dengan
hipertensi yang lama memilki kerusakan pembuluh darah yang kronis, hal ini
beresiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan tekanan darah yang abnormal.
2.
Pasien
epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami perdarahan berulang pada
bagian hidung yang kaya dengan persyarafan autonom yaitu bagian pertengahan
posterior dan bagian diantara konka media dan konka inferior.
Keterkaitan antara epistaksis dan hipertensi masih
menjadi suatu hal yang controversial. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
perubahan endotel pembuluh darah pada orang hipertensi dapat menjadi faktor
resiko epistkasis. Hipertensi dapat menjadi pemberat epistaksis jika sebelumnya
ditemukan lesi lokal di hidung yang menyebabkan stagnasi aliran pembuluh darah
seperti infeksi, atau penyebab lain yang menyebabkan rapuhnya dinding endotel
pembuluh darah. Penelitian yang dilakukan herkner dari 213 orang pasien yang
datang ke unit gawat darurat dengan epistaksis mempunyai tekanan darah sistolik
rata-rata 161 (157-165)mmHg, dan diastolic 84 (82-86)mmHg.
3.
Penatalaksanan
Perinsip
penatalaksanaan epistaksis meliputi perbaiki keadaan umum dengan menilai
kondisi ABC pasien, cari sumber perdarahan dengan menentukan perdarahan
anterior atau posterior, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk
mencegah berulangnya perdarahan dimulai dengan anamnesa yang lengkap.
Pasien diperiksa
dalam posisi duduk, biarkan darah keluar dari hidung agar bisa dimonitor. Jika
kondisi lemah bisa sambil duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan.
Gunakan suction untuk mencari sumber perdarahan. Pasang tampon sementara
menggunakan kapas yang telah dibasahi
adrenalin 1:5000 sd 1:10.000, dan lidocain 2% dibiarkan 10 sd 15 menit. Setelah vasokontriksi dapat dilihat letak
perdarahan di anterior atau posterior.
Perdarahan anterior
Dapat coba dihentikan dengan cara menekan hidung
luar 10-15 menit. Jika tidak berhasil lakukan pemasangan tampon anterior
menggunakan kasa yang diberi pelumas vaselin atau antibiotic. Tampon dimasukan
2-4 buah dan diusahakan menekan daerah perdarahan. Tampon dipertahankan 2x24
jam. Jika pasien dengan hipertensi lakukan pengobatan sesuai stadium
hipertensi. Selama 2x24 jam dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari
penyebab perdarahan.
Perdarahan
Posterior
Dilakukan pemasangan tampon posterior (bellocq). Tampon
bellocq terbuat dari kasa padat berbentuk kubus atau bulat dengan terikat 3
buah benang, dua benang di satu sisi dan satu utas benang disisi yang
berlawanan. Untuk memasang perdarahan posterior satu lubang bisa menggunakan
bantuan kateter yang dimasukan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring. Kemudian
tarik keluar dari mulut, ikatkan dua benang tampon bellocq kateter tarik keluar
hidung sampai benang keluar. Tampon didorong dengan telunjuk sampai melewati
palatum mole masuk ke nasofaring. Kedua benang di hidung diikat pada sebuah
kain kas didepan. Benang yang keluar dari mulut dapat di gunting atau dikaitkan
ke salah satu pipi pasien, yang berguna untuk menarik tampon setelah 2-3 hari.
D.
KESIMPULAN
1.
Penanganan
epistaksis dengan hipertensi pada perisnsipnya sama dengan penangan epistaksis
yang lain yakni dengan memperbaiki kondisi umum pasien, mencari letak
perdarahan, mengehtikan perdaran dan mencari penyebab perdarahan. Pengobatan
hipertensi secara farmakologis dapat merujuk menurut BSH-IV tahun 2004,
pengobatan hipertensi dimulai pada tekanan darah 160/100 mmHg, pengobatan
farmakologi dapat diberikan pada tekanan 140-159/90-99 mmHg bila terdapat
kerusakan organ target, penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, atau resiko
kardiovaskular dalam 10 tahun mencapai >= 20%.
2.
Keterkaitan
antara hipertensi dan epistaksis masih menjadi kotroversial. Perubahan endotel
pembuluh darah arteri pada kasus hipertensi menjadi dasar adanya keterkaitan
antara keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad Soepardi, E,
dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.
Jakarta; Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Adams, Boies,
Higler. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta; EGC
Charles R and Corrigan
E, Epistaxis and Hypertension. Postgraduet Medical Jurnal Bristol General
Hospital May 53, 260-261
Jaka Budiman, B. 2011. Epistaksis
dan Hipertensi. Bagian Ilmu Kesehatan Hidung Tenggorok Bedah kepala Leher.
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar