Visi Hidup Kita Haruslah Bervisi Syurga

Sabtu, 25 Januari 2014

EPISTAKSIS

REFLEKSI KASUS
Oleh: Hendri Okarisman
Dokter Muda RSUD Kab. Temanggung

A.    PENGALAMAN
Seorang pasien wanita 71 tahun datang ke IGD RSUD Temanggung tanggal 6 Mei 2013 jam 08.30 dengan keluhan utama hidung mimisan sejak 1 jam SMRS. Mimisan keluar darah segar dari hidung sebelah kanan, secara tiba-tiba, ngocor terus menerus tidak berhenti. Pasien merasa pusing dan kemeng-kemeng di tengkuk sejak siang hari (6 jam SMRS), Pasien memiliki riwayat darah tinggi dengan riwayat pengobatan tidak terkontrol. Adanya mual, muntah dan demam disangkal pasien. Pasien tidak pernah mimisan sebelum-sebelumnya, serta menyangkal adanya riwayat trauma hidung (mengorek-ngorek lubang hidung) atau masuknya benda asing ke dalam hidung serta menyangkal adanya riwayat penyakit di hidung (sinusistis, rhinitis, dll). Pasien juga tidak memiliki riwayat penyakit gula darah sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum cukup, kesadaran compos mentis. Pemeriksaan vital sign tekanan darah 240/120 mmHg, nadi 84 x/menit (isi dan tegangan cukup), respirasi 22 x/menit, suhu 36,0o C. Pemeriksaan status lokalis THT: Deviasi hidung (-), depresi tulang hidung (-), krepitasi tulang hidung (-),  Rhinoskopi anterior vestibulum nasi dekstra tidak bisa dinilai karena tertutupi aliran darah yang keluar. Rhinoskopi anterior Vestibulum nasi sinistra: kelainan anatomi hidung (-),  pembesaran konka (-), edema mukosa (-).

B.     MASALAH YANG DIKAJI
Bagaimana anatomi dan pendarahan pada rongga hidung? Bagaimana hubungan hipertensi dengan epistaksis?

C.    ANALISIS MASALAH
1.      Anatomi dan Perdarahan Rongga Hidung
Indentifikasi cabang-cabang pembuluh darah yang berada di bagian anterior septum nasi sebagai sumber terjadinya epistkasis sudah diperkenalkan sejak zanab Cave Michael (1871) dan Wilhelm Kiesselbach (1879). Pembuluh darah utama di rongga hidung berasal dari arteri karotis interna (AKI) dan arteri karotis eksterna (AKE). AKI  
 







Gambar1. A: Pembuluh darah di daerah septum nasi, B. Pembuluh darah di dinding lateral nasi
AKI memberikan suplai darah pada cavum nasi melalui percabangan vasa darah:
1.      Arteri ophtalmika yang bercabang menjadi arteri ethmoidalis anterior dan posterior dimana cabang anterior lebih besar daripada posterior. Cabang anterior pada bagian medial akan bercabang dan melintasi atap dari cavum nasi.
AKE memberikan suplai darah pada cavum nasi melalui percabangan vasa darah:
1.      AKE bercabang menjadi arteri facialis dan arteri maksilaris. Arteri facialis berjalan pada bagian anterior hidung menjadi arteri labialis anterior. Sedangkan arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri palatine mayor. Arteri sfenopalatina memasuki rongga hidung dan memperdarahi daerah septum dan sebagian lateral hidung.
Pada daerah anterior septum terjadi pertemuan (anastomiosis) antara arteri labialis posterior,  arteri etmoidalis anterior, arteri sfeno palatine, dan arteri palatine mayor membentuk plexus Kiesselbach.
Pleksus Kiesselbach memiliki ciri vaskuler dan tempat anatomis yang memudahkan terjadinya trauma fisik pada cavum nasi sehingga anatomosis ini menjadi penyebab tersering terjadinya epistaksis anterior. Pembagian area vaskularisasi yang menjadi penyebab epistaksis anterior dan posterior dipisahkan oleh ostium sinus maksilaris. Sumber dan lokasi pendarahan dapat dilihat dalam bagan sebagai berikut:
 









Etiologi epistaksis dapat disebabkan oleh:
1.      Lokal
Epistaksis yang disebkan oleh kerusakan di area cavum nasi itu sendiri, seperti:
a.       Trauma, dapat berupa mengeluarkan ingus terlalu kuat, bersin yang terlalu kuat, mengorek hidung dan masuknya benda asing ke hidung.
b.      Infeksi pada area hidung dan sekitarnya seperti rhinitis, sinus paranasal, dan granuloma spesifik
c.       Neoplasma atau kegananasan di area hidung seperti hemangioma, angiofibroma nasofaring, Ca nasofaring.
d.      Kongenital seperti herediter hemoraging telengektasis
2.      Sistemik
a.       Kardiovaskular seperti HT, kelainan pembuluh darah, nefritis kronis, sirosis hepatik.
b.      Kelainan darah seperti hemophilia, trombositopenia, leukemia.
c.       Infeksi seperti DHF, Tifoid, fan morbili
d.      Gangguan endokrin seperti hamil dan monopouse
2.      Hubungan Epistaksis dengan Hipertensi
Klasifikasi hipertensi berdasarkan JNC-7 the 7th of joint Nasional Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure 2003, dapat dibagi menjadi:
a.       Normal, sitolik <120 mmHg, Diastolik <80 mmHg
b.      Prehipertensi, Sistolik 120-139 mmHg, diastolic 80-90 mmHg
c.       Hipertensi stadium I, Sistolik 140-159 mmHg, Diastolik 90-99 mmHg
d.      Hipertensi stadium II, Sistolik >= 160 mmHg, Diastolik >= 100 mmHg
Penatalaksanaan hipertensi menurut JNC-7 dapat dibagi menjadi dua stadium. Pengobatan farmakologi dimulai pada hipertensi tingkat 1 atau tekanan darah 140-149/90-99 mmHg.Sedangkan menurut British Society of hypertension (BSH IV) tahun 2004, pengobatan hipertensi dimulai pada tekanan darah 160/100 mmHg, pengobatan farmakologi dapat diberikan pada tekanan 140-159/90-99 mmHg bila terdapat kerusakan organ target, penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, atau resiko kardiovaskular dalam 10 tahun mencapai >= 20%.
Stadium Hipertensi
Pengobatan
Stadium I
Obat diuretik golongan tiazid sebagai pilihan awal tanpa indikasi memaksa.
Obat antihipertensi ACE inhibitor, angitensin reseptor II blocker, atau calcium chanel bloker dapat dipertimbangkan sebagai obat tunggal atau kombinasi.

Stadium II
Kombinasi diuretic dengan obat antihipertensi lain.
  
            Terdapat dua hipotesis yang menerangkan keterkaitan antara epistaksis dengan hipertensi:
1.      Pasien dengan hipertensi yang lama memilki kerusakan pembuluh darah yang kronis, hal ini beresiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan tekanan darah yang abnormal.
2.      Pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami perdarahan berulang pada bagian hidung yang kaya dengan persyarafan autonom yaitu bagian pertengahan posterior dan bagian diantara konka media dan konka inferior.
Keterkaitan antara epistaksis dan hipertensi masih menjadi suatu hal yang controversial. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa perubahan endotel pembuluh darah pada orang hipertensi dapat menjadi faktor resiko epistkasis. Hipertensi dapat menjadi pemberat epistaksis jika sebelumnya ditemukan lesi lokal di hidung yang menyebabkan stagnasi aliran pembuluh darah seperti infeksi, atau penyebab lain yang menyebabkan rapuhnya dinding endotel pembuluh darah. Penelitian yang dilakukan herkner dari 213 orang pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan epistaksis mempunyai tekanan darah sistolik rata-rata 161 (157-165)mmHg, dan diastolic 84 (82-86)mmHg.
3.      Penatalaksanan
Perinsip penatalaksanaan epistaksis meliputi perbaiki keadaan umum dengan menilai kondisi ABC pasien, cari sumber perdarahan dengan menentukan perdarahan anterior atau posterior, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan dimulai dengan anamnesa yang lengkap.
Pasien diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah keluar dari hidung agar bisa dimonitor. Jika kondisi lemah bisa sambil duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Gunakan suction untuk mencari sumber perdarahan. Pasang tampon sementara menggunakan  kapas yang telah dibasahi adrenalin 1:5000 sd 1:10.000, dan lidocain 2% dibiarkan 10 sd 15 menit.  Setelah vasokontriksi dapat dilihat letak perdarahan di anterior atau posterior.
Perdarahan anterior
Dapat coba dihentikan dengan cara menekan hidung luar 10-15 menit. Jika tidak berhasil lakukan pemasangan tampon anterior menggunakan kasa yang diberi pelumas vaselin atau antibiotic. Tampon dimasukan 2-4 buah dan diusahakan menekan daerah perdarahan. Tampon dipertahankan 2x24 jam. Jika pasien dengan hipertensi lakukan pengobatan sesuai stadium hipertensi. Selama 2x24 jam dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab perdarahan.
Perdarahan Posterior
Dilakukan pemasangan tampon posterior (bellocq). Tampon bellocq terbuat dari kasa padat berbentuk kubus atau bulat dengan terikat 3 buah benang, dua benang di satu sisi dan satu utas benang disisi yang berlawanan. Untuk memasang perdarahan posterior satu lubang bisa menggunakan bantuan kateter yang dimasukan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring. Kemudian tarik keluar dari mulut, ikatkan dua benang tampon bellocq kateter tarik keluar hidung sampai benang keluar. Tampon didorong dengan telunjuk sampai melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Kedua benang di hidung diikat pada sebuah kain kas didepan. Benang yang keluar dari mulut dapat di gunting atau dikaitkan ke salah satu pipi pasien, yang berguna untuk menarik tampon setelah 2-3 hari.

D.    KESIMPULAN
1.      Penanganan epistaksis dengan hipertensi pada perisnsipnya sama dengan penangan epistaksis yang lain yakni dengan memperbaiki kondisi umum pasien, mencari letak perdarahan, mengehtikan perdaran dan mencari penyebab perdarahan. Pengobatan hipertensi secara farmakologis dapat merujuk menurut BSH-IV tahun 2004, pengobatan hipertensi dimulai pada tekanan darah 160/100 mmHg, pengobatan farmakologi dapat diberikan pada tekanan 140-159/90-99 mmHg bila terdapat kerusakan organ target, penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, atau resiko kardiovaskular dalam 10 tahun mencapai >= 20%.
2.      Keterkaitan antara hipertensi dan epistaksis masih menjadi kotroversial. Perubahan endotel pembuluh darah arteri pada kasus hipertensi menjadi dasar adanya keterkaitan antara keduanya.









DAFTAR PUSTAKA

Arsyad Soepardi, E, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta; Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Adams, Boies, Higler. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta; EGC

Charles R and Corrigan E, Epistaxis and Hypertension. Postgraduet Medical Jurnal Bristol General Hospital May 53, 260-261


Jaka Budiman, B. 2011. Epistaksis dan Hipertensi. Bagian Ilmu Kesehatan Hidung Tenggorok Bedah kepala Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar